Selasa, 11 Desember 2012

Perahu Pinisi di Tanah Beru Bulukumba

Dari Evolusi Bentuk hingga Cerita Sawerigading

PERAHU ini memiliki corak dan keunikan yang tidak akan ditemukam di belahan dunia manapun. Keunikan tersebut sekaligus menunjukkan keahlian para pembuat perahu Pinisi. Khususnya, dalam hal merangkai dinding kapal. Betapa tidak, rangkaian kapal bisa tersusun rapi meskipun harus dibuat dalam desain yang melengkung. Malah yanglebih mengherankan lagi karena dalam proses pembuatannya lebih dulu disusun papan atau dinding dibanding rangka atau tulang.
Uniknya, tidak hanya perahu ukuran kecil saja. Tetapi sampai perahu besar dikerjakan dengan cara yang sama. Bahkan salah seorang tokoh Pinisi di Bontobahari, Patta Lolo menyebut salah satu perahu Pinisi pengangkut barang terbesar yang dibuat 1973 berbobot maksimal 200 ton dikerjakan dengan teknik seperti itu. Padahal kapal ini cukup besar karena selain barang, kapal ini bisa memuat ABK hingga 30 orang.
Panjang tiang Pinisi yang diberi nama Panji Nusantara ini pun sangat luar biasa karena mencapai ketinggian 35 meter.
Keunikan lain dari Pinisi adalah dari segi ritual adatnya. Dalam tradisi pembuatan Pinisi senantiasa dilakukan pemotongan ayam lebih dulu dan mengambil darahnya sebagai bahan ritual adat. Maksud dari ritual ini adalah pengharapan agar dalam penggunaan kapal ini tidak memakan korban manusia. “Harapannya, hanya ayam yang selalu dikeluarkan darahnya untuk disantap di atas kapal. Ini juga pertanda kemakmuran dan keamanan serta perlindungan bagi siapa saja yang memanfaatkannya,” tandas Abdullah, tokoh lainnnya.
Lantas bagaimana asal mula perahu ini? Tentu tidak muncul begitu saja. Desain kapal dengan corak khas dua tiang dan tujuh layar ini dalam sejarah disebutkan sebagai sebuah hasil evolusi dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Mulai dari perahu tanpa lunas atau dasar kapal hingga perahu dengan desain lunas. Perahu tanpa lunas adalah jenis perahu sampan terbuat dari batang kayu yang dikeruk atau banyak disebut dengan perahu lesung.
Dalam bahasa Bugis-Makassar disebut dengan lepa-lepa. Kapasitas perahu jenis ini sangat bergantung dari besar kecilnya batang pohon dan biasanya hanya dipergunakan pada daerah yang memiliki gelombang dalamskala kecil.
Perahu tanpa lunas lainnya adalah perahu Soppe’. Perahu ini merupakan pengembangan dari perahu jenis sampan dengan tujuan menambah kapasitas muat kapal. Itu sebabnya, desain perahu ini menambah papan pada bagian lambung kapal dan menambah tingginya. Pada sisi kiri dan kanan diberikan alat penyeimbang yang terbuat dari bambu atau kayu ringan. Perahu jenis ini mulai digunakan untuk alat transportasi dalam ukuran kecil. Lalu ada pula bernama perahu Jarangka. Bentuknya mirip dengan perahu Soppe. Hanya ukurannya yang lebih panjang yakni antara enam sampai tujuh meter. Evolusi desain perahu Pinisi juga bisa dilihat berdasarkan buku rujukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bulukumba yang ditulis Muhammad Arief Saenong. Dalam buku tersebut disebutkan beberapa jenis kapal yang menggunakan lunas sebagai cikal bakal perahu Pinisi. Dimulai dengan keberadaan perahu Pa’dewakang yang merupakan perahu kuno pertama dimana dindingnya terdiri dari kepingan-kepingan papan yang tersusun.
Perkembangan selanjutnya yang sebagian besar tokoh Pinisi di Bulukumba menyebut awal mula Pinisi adalah munculnya perahu Pajala disusul perahu Patorani. Kedua perahu ini muncul dalam waktu yang tidak lama dan bentuknya pun hampir sama.
Perahu Pajala ini berdasarkan hasil penelitian G.A Harridge pada 1979 menyebutkan bahwa lambung kapal (hull) dan teknik pembuatan perahu pajala merupakan dasar pembuatan perahu di Sulawesi Selatan. Ini beradasar pada konstruksi lambung yang relatif sama dengan perahu pada umumnya. Perkembangan selanjutnya ada yang disebut perahu Lopi Niadara, perahu Ba’go dan perahu Lambok yang semuanya adalah pengembangan perahu Pajala.
Evolusi selanjutnya pasca tipe perahu Pajala dengan berbagai tipe lainnya yang tidak jauh berbeda. Muncullah perahu jenis Salompong. Perahu Salompong ini merupakan modifikasi yang dilakukan para pembuat perahu dengan jalan menambah susunan papan lamma dengan jalan diikat (nisekko). Tambahan susunan papan ini kemudian dilebihkan ke belakang yang dibentuk menjadi “rembasang”. Kapasitas perahu jenis ini terbagi atas Salompong kecil dengan kapasitas 10 sampai 15 ton dan Salompong besar hingga 30 ton.
Dari perahu jenis Salompong ini, evolusi menuju pinisi konon juga diantarai munculnya perahu jenis Palari. Bahkan jenis perahu yang memulai menggunakan dua tiang dan tujuh layar.
Rentetan evolusi ini yang kemudian melahirkan sebuah kapal unik dengan corak khas tersendiri yakni perahu Pinisi yang terkenal dengan ekspedisi internasional Pinisi Nusantara ke Vancouver Kanada 1986 dan Pinisi Ammana Gappa yang mencapai Madagaskar pada 1991 silam.
Hanya saja, keberadaan perahu Pinisi ini juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah Sawerigading yang berkuasa di Luwu sekira abad ke XIV. Salah seorang tokoh pembuat Pinisi, Abdullah menyebut, konon asal mula perahu Pinisi berasal dari cerita terbelahnya kapal Sawerigading sepulang dari Tiongkok untuk menikahi seorang putri bernama We Cudai.
Cerita terbelahnya kapal Sawerigading ini berasal dari sumpah Sawerigading yang berjanji tidak akan kembali lagi ke tanah Luwu setelah meninggalkan tanah kelahirannya untuk menemui We Cudai. Keputusan Sawerigading meninggalkan kampung halamannya lantaran dihalangi menikahi saudara kandungnya sendiri, Watenri Abeng.
Sawerigading diceritakan meninggalkan kampungnya karena bujukan Watenri Abeng sendiri. Sawerigading diminta menemui seorang gadis cantik bernama We Cudai yang berada di negeri Tiongkok yang disebutnya persis mirip dengan wajahnya.
Sawerigading mengabulkan permohonan Watenri Abeng ini dan memutuskan menemui We Cudai dengan menggunakan perahu Welengrenge. Perahu tersebut konon muncul setelah terjadi sesuatu peristiwa ajaib. Diceritakan Abdullah bahwa saat itu perahu Sawerigading sudah lapuk dan tidak memungkinkan untuk perjalanannya.
Maka, ditebanglah pohon besar yang ada di Gunung Welengrenge suatu bukit di tanah Luwu. Namun, saat ditebang tiba-tiba kayu besar itu meluncur ke laut kemudian muncul perahu yang megah. Perahu ini kemudian digunakan untuk berlayar hingga berhasil menemui We Cundai. Sawerigading hidup bahagia bersama We Cudai mendapatkan keturunan yakni I Lagaligo. Setelah Sawerigading sekian lama di China dia pun rindu kampung halamannya dan lupa dengan sumpahnya untuk tidak kembali lagi.
Inilah yang menurut cerita menjadi petaka bagi Sawerigading yang membuat perahu Welengrenge ini terbelah saat mendekat tanah Luwu.
Dari peristiwa ini bagian kapal Sawerigading terbelah tiga dan terdampar di Bontobahari. Masing-masing bagian lunas pada haluan sampai buritan terdampar di dusun Lemo-lemo Tanah Beru. Papan dan seluruh bagian lambung kapal terdampar di Dusun Ara. Sedangkan tali temali serta layar terdampar di Bira. Dari ketiga bagian ini menurut sejarah yang kemudian dirakit warga setempat. Itu sebabnya, pada tiga desa tersebut terkenal dengan keahliannya masing-masing. Orang Ara ahli dalam membuat bodi kapal, orang Lemo-lemo ahli dalam membuat dan dasar dan mempekerjakan, dan orang Bira ahli dalam berlayar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar